Senin

nulisauday6
2 min readMay 12, 2024

--

Senin. Mendengar namanya saja bisa membuat lelah. Padahal baru saja aku selesai berlibur panjang karena tanggal merah tapi energiku belum cukup untuk menghadapi Yang Mulia Baginda Hari Senin ini. Tapi tubuhku merespon berbeda. Lihat saja, ini baru jam 4 subuh tapi aku sudah terbangun dan sudah mandi. Hey, tubuhku! Tidak bisakah kamu bermalas-malasan hari ini? Aku sunggu malas untuk ke kantor.

Jalanan pagi ini masih lengang, mungkin pengaruh libur panjang. Entahlah. Aku tiba di kantor saat OB masih mengelap dinding kaca dan yang lainnya mengepel lantai. Ku sapa mereka seperti biasa dan menuju ruanganku.

Ku periksa ponselku, memastikan ada tidaknya notifikasi. Nihil. Ku letakkannya sembarang di atas meja lalu membaringkan kepalaku di atas meja dan menggerutu dalam hati. Bagaimana tidak, managerku melakukan perjalan dinas yang dirapel liburan dengan pegawai lainnya sejak Senin lalu. Rencanaku untuk menghabiskan libur panjang dengannya tentu saja gagal total.

Telingaku menangkap suara pintu yang terbuka dengan pelan dan suara langkah kaki. Aku terlalu malas untuk mengecek, paling salah satu stafku. Tapi bisa kurasakan seseorang duduk di depan mejaku dan meletakkan sebuah barang. Terpaksa aku menoleh dengan wajah tanpa ekspresi.

“Selamat pagi, cantik”, ucapnya santai dengan sedotan susu pisang bertengger di mulutnya.

Aku tidak bersuara, hanya melotot tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Terakhir dia mengabari akan pulang hari ini tapi tiba-tiba sepagi ini sudah duduk di depanku menggunakan jaket bertudung.

“Hpku mati, tadi sampai bandara aku langsung ke kontrakan kamu tapi belum sempat turun dari mobil kamu udah naik ojol”

Aku masih belum merespon, menunggu ia menyelesaikan penjelasannya.

“Aku ngikutin kamu tapi aku singgah beli sarapan dulu makanya gak barengan sampai kantor. Ini, bubur ayam komplit tambah sate usus”, dia menyodorkan sebuah paperbag.

“Makan ya, aku mau mandi dulu. Belum mandi dari kemarin. Hehe”, masih dengan penjelasannya yang ditutup dengan tawa yang terkadang membuatku sebal.

“Punyaku ku makan di ruangan atau boleh bareng di sini?”, kali ini sebuah pertanyaan.

“Makan di ruangan”, jawabku karena tidak ingin terciduk stafku, khawatir aku disangka naik jabatan sebagai supervisor karena kekasih manager. Padahal pada kenyataannya, kami sudah menjalin kasih saat masih kuliah.

“Ok, kalo gitu aku tinggal ya. Selamat makan”, ia berlalu dengan membawa paperbag miliknya.

“1, 2, 3”, hitungku saat pintu tertutup.

Dan benar saja, ia kembali membuka pintu.

“I love you! I love you! I love you! I love you!”, ucapnya dengan nada seadanya disertai beragam bentuk finger heart.

“I love you more”, balasku.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response